Suasana di San Siro pada Minggu malam berubah dari harapan menjadi keputusasaan dalam hitungan menit. Ribuan suporter Italia yang memenuhi stadion dengan harapan melihat kemenangan manis sebagai penutup kualifikasi justru dibuat terpukul oleh kekalahan telak 4-1 dari Norwegia. Kekalahan tersebut bukan hanya memalukan, tetapi juga menegaskan kembali perjalanan berat yang harus ditempuh Azzurri untuk bisa lolos ke Piala Dunia 2026.
Bagi banyak penggemar, kekalahan ini terasa seperti deja vu. Italia kembali harus menghadapi playoff—sebuah fase yang dalam dekade terakhir justru lebih banyak membawa kesedihan daripada kebanggaan. Bahkan sebelum laga dimulai, banyak fans sudah mengetahui bahwa peluang Italia untuk lolos langsung hampir mustahil. Mereka membutuhkan kemenangan dengan selisih sembilan gol untuk menggeser Norwegia dari puncak Grup I. Meski begitu, tidak ada yang menyangka bahwa pertandingan akan berakhir dengan kekalahan memalukan.
Kekalahan Telak yang Memicu Kecemasan Nasional
Para fans Italia yang keluar dari stadion terlihat muram. Tidak sedikit dari mereka menggelengkan kepala dan bergumam dengan nada frustrasi. Bagi para pendukung setia, kekalahan seperti ini kembali mengingatkan mereka pada luka lama—dua kegagalan beruntun Italia lolos ke Piala Dunia, pada edisi 2018 dan 2022. Kini, bayang-bayang kegagalan ketiga kalinya mulai terlihat lagi.
Italia, empat kali juara dunia, kini menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka bukan lagi kekuatan yang menakutkan di kualifikasi Eropa. Performa tim yang tidak konsisten, kurangnya pemain bintang baru (kecuali Donnarumma), serta transisi pelatih yang belum solid menjadi faktor yang terus membayangi perjalanan mereka.
Seorang konsultan berusia 54 tahun, Luca Raggi, mengungkapkan kekhawatirannya, “Sangat menyedihkan jika harus melihat Piala Dunia ketiga berturut-turut tanpa Italia. Kita seakan hampir tidak pernah lolos lagi. Di 2010 dan 2014 saja kita tersingkir di fase grup.” Komentar seperti ini mencerminkan kecemasan kolektif fans Italia, yang semakin kehilangan optimisme.
Pergantian Pelatih: Dari Spalletti ke Gattuso
Kegagalan untuk tampil meyakinkan membuat federasi sepak bola Italia kembali melakukan langkah drastis. Kekalahan mengejutkan 3-0 dari Norwegia pada bulan Juni lalu menjadi titik balik yang menyebabkan Luciano Spalletti digantikan oleh Gennaro Gattuso. Meski dikenal sebagai pelatih yang penuh energi dan memiliki mentalitas juang tinggi, Gattuso tampaknya masih membutuhkan waktu untuk menyegarkan kembali mental dan strategi tim nasional Italia.
Dibandingkan generasi emas sebelumnya, Italia kini dihadapkan pada situasi yang jauh berbeda. Ketika nama-nama seperti Pirlo, Totti, Del Piero, Maldini, dan Cannavaro menghiasi skuad, fans bisa bermimpi besar. Namun kini, menurut banyak penggemar, Italia tampak kehilangan pemain kelas dunia, dengan pengecualian Gianluigi Donnarumma yang tetap menunjukkan performa solid.
Website Taruhan Bola : SBOBET88 ASIA
“Kami tumbuh melihat Italia bermain di final 1982, 1994, dan 2006. Sekarang, kami punya tim yang tidak jelas siapa bintangnya.” ujar Andrea Saronni, seorang jurnalis berusia 57 tahun. “Anak saya yang baru 10 tahun senang menonton pertandingan ini, tapi jujur saja, dia lebih antusias melihat Haaland.”
Generasi Baru yang Masih Belum Matang
Salah satu kritik terbesar terhadap sepak bola Italia modern adalah kurangnya regenerasi. Italia memiliki sistem akademi yang solid, tetapi banyak pihak menilai bahwa negara-negara lain seperti Prancis, Norwegia, Inggris, dan Spanyol lebih unggul dalam mengenali dan mengembangkan talenta muda.
Saronni menambahkan, “Masalahnya bukan hanya soal pelatih atau taktik. Ini juga tentang kultur pemain. Di negara lain, bermain untuk tim nasional masih menjadi kebanggaan luar biasa. Di Italia, tampaknya motivasinya tidak seperti dulu.”
Ini menjadi refleksi tajam terhadap situasi yang dihadapi Italia. Banyak pemain muda berbakat yang tampil bagus di liga, namun tidak semuanya mampu mengulangi performa terbaik mereka ketika mengenakan seragam biru kebanggaan bangsa tersebut.
Mimpi Buruk Playoff yang Terulang Kembali
Kekalahan ini membuat Italia sekali lagi harus menghadapi skenario playoff—skenario yang dalam beberapa tahun terakhir lebih sering berakhir tragis. Pada babak playoff 2022, Italia dikejutkan oleh gol telat Aleksandar Trajkovski dari Makedonia Utara. Gol tersebut membuat Italia tersingkir dan gagal melangkah ke Qatar.
Empat tahun sebelumnya, Italia harus berduka setelah kalah agregat tipis 1-0 dari Swedia. Pertandingan tersebut menjadi laga terakhir Gianluigi Buffon bersama tim nasional, dan tangisannya di San Siro pada malam itu menjadi momen ikonik yang penuh kesedihan dalam sejarah sepak bola Italia.
Raggi mengingat kembali momen tersebut, “Saya ada di sini ketika kita gagal melawan Swedia. Tidak ada satu pun dari kami yang percaya Italia bisa gagal. Itu seperti mimpi buruk. Dan kini tampaknya mimpi buruk itu menjadi sesuatu yang normal.”
Dari Euforia Juara Euro 2021 ke Realita Pahit
Di antara dua kegagalan lolos ke Piala Dunia tersebut, Italia sempat mencapai puncak kejayaan pada tahun 2021 ketika mereka memenangkan Euro. Gelar ini seolah menjadi bukti bahwa Italia masih memiliki DNA juara, meskipun skuadnya tidak sekuat generasi sebelumnya.
Namun kemenangan ini justru membuat absennya Italia di Piala Dunia terasa semakin ironi. Bagaimana mungkin tim juara Eropa tidak mampu lolos ke turnamen terbesar dunia? Pertanyaan ini masih menghantui banyak penggemar Italia hingga hari ini.
Pasquale Di Bello, seorang penggemar berusia 40 tahun, menjelaskan, “Italia bisa saja tampil di luar dugaan. Lihat saja Euro 2021. Kita bermain di atas level normal. Tapi untuk bisa mengulang hal itu, kita harus lolos dulu. Dan itu yang sekarang menjadi masalah besar.”
Stadion San Siro: Dari Suasana Hangat ke Keheningan
Hampir 70.000 penggemar hadir di San Siro malam itu. Mereka datang meski cuaca dingin dan hujan. Pada awalnya, mereka memberikan dukungan penuh, menyanyikan lagu, meneriakkan yel-yel, dan berharap tim mereka bisa menunjukkan performa terbaik.
Namun setelah Norwegia unggul dan semakin mendominasi pertandingan di menit-menit akhir, suasana stadion berubah drastis. Suara suporter Norwegia justru terdengar lebih keras, merayakan keberhasilan tim mereka kembali lolos ke Piala Dunia untuk pertama kalinya sejak 1998.
Bagi banyak fans Italia, momen ini sangat menyakitkan. Melihat suporter tim tamu merayakan kemenangan besar di tanah mereka sendiri hanya memperdalam luka emosional.
Apakah Masih Ada Harapan?
Walaupun banyak yang pesimis, beberapa fans tetap berusaha melihat sisi positif. Mereka percaya bahwa jika Italia mampu tampil kompak dan penuh determinasi, peluang untuk lolos ke Piala Dunia tetap terbuka.
Namun satu hal yang pasti: Italia harus memutus siklus kegagalan dalam playoff. Mereka tidak memiliki lagi ruang untuk kesalahan.
Gattuso kini memiliki tugas besar: memperbaiki mentalitas tim, menajamkan lini serang, dan membangun kembali rasa percaya diri yang hilang. Playoff Maret mendatang akan menjadi ujian terbesar bagi pelatih dan pemain.
Kesimpulan: Italia di Persimpangan Jalan
Kekalahan memalukan 4-1 dari Norwegia bukan hanya tentang hasil laga, tetapi tentang kondisi sepak bola Italia secara keseluruhan. Ini adalah sinyal bahwa sesuatu harus berubah. Fans Italia dapat merasakan itu. Mereka sudah terlalu sering dikecewakan dalam satu dekade terakhir.
Meski demikian, sepak bola selalu penuh kejutan. Italia adalah tim dengan sejarah besar, mental baja, dan kemampuan bangkit ketika tidak diunggulkan. Namun kali ini, mereka harus bekerja lebih keras daripada sebelumnya.
Playoff Maret nanti akan menjadi penentu nasib sepak bola Italia. Apakah mereka akan kembali ke Piala Dunia dan memulai lembaran baru, atau apakah mereka akan mencatat sejarah kelam dengan gagal untuk ketiga kalinya berturut-turut?
Jawabannya kini berada di tangan para pemain dan pelatih. Sementara itu, para fans hanya bisa berharap—dan berdoa—agar mimpi buruk tidak terulang lagi.