Pekan terakhir sebelum jeda internasional justru jadi panggung bagi kejutan, kegagalan, dan kebangkitan tak terduga di lima liga top Eropa.
Jika Anda berpikir persaingan gelar sudah bisa diprediksi, pekan lalu membuktikan sebaliknya. Dari Etihad yang bergemuruh hingga Stadium of Light yang “membakar” masa lalu, Eropa menghadirkan drama layaknya sinetron berkualitas tinggi—lengkap dengan balas dendam, comeback, dan kejutan dari tim promosi.
Liverpool: Tak Cuma Kalah, Tapi “Hilang Arah”
Kekalahan 0–3 dari Manchester City bukan hanya soal angka. Ini adalah wake-up call keras bagi skuad Arne Slot. Juara bertahan Premier League kini terlempar ke peringkat ke-8, tertinggal 8 poin dari puncak—dan yang lebih mengkhawatirkan: performa mereka terlihat rapuh, bukan sekadar kurang beruntung.
Bukan cuma taktik yang bermasalah: intensitas, transisi, hingga kepercayaan diri tampak drop. Di Etihad, The Reds terlihat seperti tim yang kehilangan identitas pasca-Klopp—terlalu pasif, mudah ditekan, dan minim solusi di depan gawang. Jika ini berlanjut, mimpi back-to-back gelar bisa berakhir sebelum Desember.
Manchester City: Milestone Guardiola, Dominasi yang Masih Nyata
Sementara Liverpool goyah, City justru merayakan milestone besar: pertandingan ke-1.000 Pep Guardiola sebagai pelatih—dan mereka merayakannya dengan sempurna.
Kemenangan 3–0 atas rival terdekat bukan sekadar hasil, tapi pernyataan: City masih punya standar tertinggi di Inggris. Haaland memang tajam, tapi sorotan jatuh pada Jeremy Doku—pemain yang musim lalu sering dianggap “pelengkap”, kini jadi game-changer dengan kecepatan liar dan gol indahnya.
Yang menarik? City menang tanpa Rodri. Artinya, depth squad mereka—terutama di lini tengah—mulai menunjukkan tanda pemulihan pasca cedera kunci.
Arsenal vs Sunderland: Ketika Mantan Akademi “Balas Budi”
Arsenal seharusnya memanfaatkan kegagalan Liverpool untuk memperlebar jarak. Tapi, mereka justru tergelincir di markas Sunderland—tim promosi yang baru kembali ke Premier League setelah 7 tahun!
Skor imbang 2–2 terasa seperti kekalahan moral. The Gunners gagal menguasai permainan, kesulitan melawan pressing fisik ala Inggris klasik, dan hampir kalah kalau bukan karena keberuntungan serta kesalahan pertahanan tuan rumah.
“Aku mengenal setiap sudut latihan di London Colney. Hari ini, aku bermain bukan untuk membuktikan sesuatu—tapi untuk menunjukkan bahwa kesempatan bisa datang dari tempat tak terduga.” — Dan Ballard, pasca-laga.
Kisahnya mengingatkan kita: di sepak bola, revenge terbaik adalah kesuksesan yang diam-diam disiapkan bertahun-tahun.
Real Madrid: Revolusi Xabi Alonso, Tapi Masih Ada “Rem” di Ruang Ganti?
Los Blancos ditahan 0–0 oleh Rayo Vallecano—tim yang bahkan tak punya striker murni di starting XI. Setelah kalah di Liga Champions, ini jadi tanda tanya besar atas transisi pasca-Anchelotti.
Xabi Alonso memang membawa ide segar: pressing tinggi, rotasi cepat, pemain muda dipercaya. Tapi:
- Madrid hanya mencatat 1 tembakan tepat sasaran sepanjang laga.
- Vinícius & Bellingham terlihat frustasi, kurang koneksi.
- Banyak laporan media Spanyol menyebut ketegangan mulai muncul di ruang ganti—terutama dari pemain senior yang kesulitan beradaptasi.
Ini bukan krisis—tapi peringatan. Transisi butuh waktu, tapi di Madrid, waktu selalu lebih singkat.
Bayern Munich & Tottenham: Drama Menit Akhir yang Membagi Nasib
Bayern akhirnya kehilangan poin pertama musim ini—tapi bukan tanpa perlawanan sengit. Lawan Union Berlin yang bermain defensif, Die Roten tertinggal 0–1 sampai menit ke-89… sebelum Harry Kane menyamakan kedudukan di menit ke-90+2 dengan sundulan klinis.
Sementara itu, di London utara, Manchester United (ya, itu Manchester United) menunjukkan karakter langka:
- Unggul 1–0, lalu tertinggal 1–2,
- Tapi Amad Diallo mencetak gol penyeimbang di menit ke-89,
- Lalu hampir menang jika bukan karena VAR menghapus gol kemenangan di injury time.
Dengan Ruben Amorim, United mulai menunjukkan DNA bertarung—meski hasil belum konsisten, mentalitas tampak berubah. Sir Jim Ratcliffe mungkin benar: butuh 3 tahun. Tapi jika progres seperti ini berlanjut, optimisme bisa tumbuh lebih cepat.
Serie A: Milan Bikin Balapan Makin Panas!
AC Milan sempat unggul 2–0 atas Parma. Seharusnya, ini jadi business as usual untuk calon juara. Tapi…
Mereka kebobolan dua gol dalam 10 menit, gagal memanfaatkan dua peluang emas di akhir laga (termasuk tendangan penalti yang melebar), dan akhirnya bermain imbang 2–2.
Akibatnya?
• Inter masih di puncak, tapi cuma unggul 2 poin dari Juve dan 3 poin dari Milan.
• Napoli dan Atalanta juga masih dalam jarak 5 poin.
• Serie A kini punya 5 kandidat juara nyata—sesuatu yang jarang terjadi pasca-era Juventus dominan.
Milan memang sering “bermain di tepi jurang”. Tapi kali ini, mereka justru melempar semua tim ke dalam jurang yang sama—dan hasilnya? Persaingan paling seru dalam satu dekade terakhir.
Bonus: Lewandowski & PSG — Dua Wajah Berbeda dari “Awal Musim”
Barcelona menang 4–2 atas Celta Vigo dalam laga kacau yang mengingatkan kita pada El Clasico versi low-budget. Tapi di tengah kekacauan itu, Robert Lewandowski mencetak hat-trick—dan untuk pertama kalinya musim ini, ia terlihat nyaman di bawah asuhan Hansi Flick. Tanda kebangkitan? Mungkin.
PSG, seperti biasa, “bermain-main” di awal musim. Menang 2–1 atas Lyon berkat gol João Neves di menit ke-95—pemain muda Portugal yang baru didatangkan dari Benfica. Gaya mereka masih: start lambat, panas di pertengahan, meledak di akhir. Formula yang berhasil musim lalu… dan mungkin akan diulang lagi.
Penutup: Jeda Internasional Datang di Saat yang Tepat
Bagi sebagian klub, jeda ini adalah kesempatan untuk reset—memperbaiki taktik, mengobati cedera, atau menenangkan ruang ganti.
Bagi penggemar? Ini saat yang pas untuk menarik napas… sebelum kembali ke hiruk-pikuk yang mungkin lebih gila lagi.
Musim ini belum punya favorit kuat. Dan justru di situlah keindahan sepak bola sesungguhnya berada.
Sumber: Analisis & rangkuman berdasarkan laporan Goal International dan data pertandingan resmi liga Eropa — 11 November 2025.