Manchester United kembali jadi sorotan. Banyak fans mendesak Ruben Amorim untuk mundur atau dipecat, bahkan tiga calon penggantinya sudah mulai disebut-sebut. Namun, sebagian lain menilai Amorim bukanlah masalah utama. Lalu, apa sebenarnya solusi untuk kebobrokan Manchester United?
“Amorim Out”
Masalah terbesar United saat ini bukan sekadar skuad yang butuh perombakan atau struktur manajemen yang kacau. Lebih dari itu, masalahnya ada di mentalitas.
Di era Sir Alex Ferguson, meski tim hanya diperkuat pemain seperti John O’Shea atau Federico Macheda, lawan tetap ketar-ketir. Kenapa? Karena United selalu punya kejutan dan semangat juang yang tak pernah padam.
Sejak Fergie pensiun, situasi berubah total. Setiap manajer datang dengan strategi dan kambing hitamnya masing-masing, tapi satu hal tetap sama: spirit tim yang lesu. Pemain hanya tampil seadanya. Hanya Bruno Fernandes yang bisa dibilang konsisten dalam beberapa musim terakhir.
José Mourinho mungkin bukan favorit semua orang, tapi era-nya masih membekas. Ia berhasil membawa United juara Liga Europa. Para pemain dipaksa bekerja keras sampai benar-benar habis-habisan. Itulah cerminan semangat ala Ferguson: kalau nggak siap kerja keras, angkat kaki!.
Amorim? Justru sebaliknya. Dalam wawancara terakhirnya, ia terlihat kehilangan motivasi, formasinya monoton, dan tak menunjukkan urgensi untuk berubah. Fans pun menyebutnya seperti “orang gila” yang melakukan hal sama berulang-ulang tapi mengharap hasil berbeda.
Bisnis, Bukan Amal
Sepak bola level ini adalah bisnis, bukan organisasi amal. Kalau Amorim tak bisa membangkitkan semangat tim setelah merombak skuad dan mengasingkan beberapa pemain, maka solusinya hanya satu: mundur atau dipecat.
Solusi Sejati untuk MU?
Pertanyaannya: apa sebenarnya solusi untuk Manchester United? Pemilik berganti, struktur diperbaiki, pelatih datang dan pergi, pemain dibeli dengan harga selangit. Tapi hasilnya? Tetap hancur.
Banyak opini bertebaran, tapi masih belum ada yang benar-benar bisa jadi jawaban final. Satu hal pasti: United butuh identitas dan mentalitas baru. Tanpa itu, siapa pun pelatihnya—Amorim, Ten Hag, atau pengganti lain—hasilnya akan sama saja.