Klub Premier League Melaju Mulus di Liga Champions: Tanda Kesenjangan Kompetisi?

 

Selebrasi Mikel Merino dalam laga Liga Champions antara Slavia Praha vs Arsenal, Rabu (5/11/2025).

Putaran terbaru Liga Champions kembali menegaskan pola yang mulai terasa familiar. Klub-klub Premier League tampil hampir sempurna, mendominasi lawan-lawannya dengan jarak performa yang cukup lebar sepanjang pekan ini.

Dari enam pertandingan yang dijalani, lima berakhir dengan kemenangan tim Inggris dan hanya satu yang berakhir imbang.

Satu-satunya hasil non-kemenangan datang dari Chelsea, yang ditahan imbang Qarabag di laga tandang.

Kinerja luar biasa ini menimbulkan pertanyaan besar:
Apakah keseimbangan kompetitif Liga Champions mulai terganggu?

Inggris Mendominasi: Fakta dan Angka Fase Awal

Dari total 24 pertandingan yang sudah dijalani klub Inggris sejauh ini, hanya tiga berakhir dengan kekalahan — dua di tangan Bayern Munich dan Barcelona, satu lainnya saat Liverpool bertandang ke Galatasaray.

Data ini menggambarkan efisiensi luar biasa dari klub Premier League di kancah Eropa.
Empat dari delapan tiket otomatis menuju babak berikutnya saat ini bahkan ditempati oleh Arsenal, Manchester City, Liverpool, dan Newcastle, sementara Spurs dan Chelsea masih berada dalam posisi bersaing ketat.

Salah satu faktor yang memperkuat dominasi ini adalah pemisahan klub dari negara yang sama dalam undian fase liga, membuat klub Inggris menghadapi lawan dari liga lain yang rata-rata memiliki daya finansial lebih kecil.

Koefisien UEFA juga mempertegas realitas tersebut — dalam lima musim terakhir, koefisien Inggris telah menembus angka 100, jauh di atas Italia dan Spanyol. Angka ini menjadi indikator objektif bahwa kesenjangan performa antar liga Eropa semakin melebar.

Faktor Finansial: Jurang yang Kian Dalam

Dominasi Premier League bukan fenomena instan.
Kekuatan finansial yang luar biasa menjadi fondasi utamanya.

Musim panas lalu, klub-klub Inggris menghabiskan lebih dari £3 miliar di bursa transfer — lebih besar dari total gabungan empat liga top Eropa lainnya.

  • Liverpool saja mengeluarkan sekitar £415 juta, hampir menyamai total belanja seluruh klub Ligue 1.

  • Sementara itu, klub papan tengah seperti Newcastle bahkan mampu merekrut pemain penting dari tim besar seperti AC Milan (contohnya Malick Thiaw), menunjukkan betapa jauhnya daya beli Premier League dibanding kompetitornya.

Kondisi ini memungkinkan klub Inggris mendatangkan pemain terbaik dunia sekaligus memiliki “ruang kesalahan” dalam rekrutmen — sesuatu yang sulit dilakukan klub-klub dari liga lain.

Selama hak siar global Premier League terus melonjak, kesenjangan finansial ini hampir mustahil untuk dijembatani.

Dominasi Awal Bukan Jaminan Gelar

Meski tampil mengesankan di fase awal, dominasi klub Inggris belum selalu berujung pada trofi.
Sejak era modern Liga Champions, tim-tim Inggris baru tujuh kali juara dalam 33 edisi — angka yang masih kalah jauh dari Real Madrid yang sendirian mengoleksi lebih banyak gelar dalam periode yang sama.

Artinya, kekuatan finansial dan kedalaman skuad tidak otomatis menjamin kesuksesan di Eropa.
Namun satu hal pasti: di fase awal musim ini, enam wakil Inggris tampil sangat siap dan nyaris tanpa cela, menegaskan bahwa jarak kekuatan antara Premier League dan liga lain kini semakin sulit untuk diabaikan.

Simak juga berita dari : Flick Bertahan dengan Taktik ‘Kamikaze’ Barcelona di Tengah Krisis 12 Tahun

Lebih baru Lebih lama