Italia Terancam Gagal Lolos ke Piala Dunia 2026: Krisis Terbesar Sepanjang Sejarah Azzurri

Skuad Timnas Italia berjalan meninggalkan lapangan dengan wajah muram

Empat kali juara dunia, raksasa Eropa, dan salah satu negara paling bersejarah dalam sepak bola internasional — namun kini Italia kembali terancam tidak tampil di Piala Dunia. Setelah gagal lolos ke edisi 2018 dan 2022, Azzurri sekali lagi berada di posisi genting menjelang akhir kualifikasi Piala Dunia 2026.

Situasi ini bukan hanya memalukan, tetapi juga bisa menjadi tragedi sepak bola nasional. Pakar Italia bahkan menyebutnya sebagai “bencana apokaliptik jilid tiga”, sebab negara sebesar Italia tidak pernah terbayang bisa absen dari turnamen terbesar dunia selama lebih dari 12 tahun.

Kini, Italia duduk di posisi kedua klasemen di bawah Norwegia dan butuh kemenangan dengan selisih sembilan gol di Milan untuk lolos otomatis. Dengan kualitas Norwegia yang sedang panas—ditambah Erling Haaland mencetak 14 gol dalam tujuh laga—situasinya praktis mustahil.

Artinya, Italia sangat mungkin kembali merosot ke babak play-off. Sebuah babak yang dalam delapan tahun terakhir lebih identik sebagai kuburan mimpi Azzurri.


Kembali ke Neraka Play-off: Sumber Trauma Sepak Bola Italia

Bagi Italia, play-off bukan sekadar pertandingan tambahan. Itu adalah ruang gelap yang sudah dua kali menjadi tempat kehancuran tim nasional.

1. Kegagalan 2018: Dimulai dengan Air Mata di San Siro

Pada tahun 2017, Italia kalah agregat 1-0 dari Swedia di San Siro. Kekalahan itu menjadi momen menyakitkan — jutaan fans terdiam, Gianluigi Buffon menangis di depan kamera, dan pers Italia menyebutnya sebagai “kiamat sepak bola”.

Italia absen dari Piala Dunia 2018 untuk pertama kalinya sejak 1958. Sebuah tragedi yang seharusnya tidak terjadi bagi negara yang dibesarkan oleh legenda-legenda seperti:

  • Paolo Maldini
  • Francesco Totti
  • Roberto Baggio
  • Gianluigi Buffon

2. Kegagalan 2022: Kekalahan Memalukan dari North Macedonia

Empat tahun kemudian, tragedi itu berulang. Italia, yang baru memenangkan Euro 2021, secara mengejutkan kalah 1-0 di kandang dari North Macedonia. Kekalahan itu menjadi salah satu hasil paling mengejutkan dalam sejarah kualifikasi Piala Dunia.

Sekali lagi, mereka harus menonton Piala Dunia dari rumah. Dua generasi pemain Italia kehilangan panggung terbesar dunia.

Kini, 2026 bisa menjadi babak ketiga dari kisah gelap Azzurri.


Bagaimana Italia Bisa Masuk Krisis Ini Lagi?

Italia adalah juara Eropa 2021. Mereka menyingkirkan Belgia, Spanyol, dan mengalahkan Inggris di Wembley. Tetapi sejak itu, performa mereka menurun drastis. Perubahan pelatih, regenerasi yang tidak terarah, serta sistem kompetisi domestik yang tidak lagi produktif menciptakan kekacauan struktural.

1. Kekalahan Brutal 0-3 dari Norwegia: Awal Kiamat Baru

Kampanye kualifikasi ini dimulai dengan mimpi buruk: kalah 3-0 dari Norwegia. Haaland mencetak gol, sementara pertahanan Italia tampak kehilangan arah.

Simak berita lainya , Arsenal & Crystal Palace Dapat Perlakuan Khusus: Jadwal Liga Inggris Diubah Demi Cegah Krisis Fixture

Yang membuat situasi lebih buruk, pelatih saat itu — Luciano Spalletti — langsung mengumumkan niat mengundurkan diri dua hari setelah pertandingan. Meskipun ia tetap menangani laga berikutnya, kepercayaan publik mulai hilang.

2. Spalletti Gagal Menemukan Formulanya

Meskipun dianggap sebagai salah satu pelatih taktik terbaik Italia modern, Spalletti gagal membawa kestabilan. Italia kesulitan mencetak gol, rapuh dalam bertahan, dan kehilangan identitas khas mereka: bertahan seperti besi.

Spalletti tersingkir sebelum sempat membangun proyek jangka panjang.


Munculnya Gennaro Gattuso: Energi Baru, Risiko Baru

Federasi Sepak Bola Italia kemudian menunjuk Gennaro Gattuso sebagai pelatih baru. Keputusan ini dianggap kontroversial oleh banyak pihak.

Gattuso memang legenda Italia — motor tempur yang membawa AC Milan dua kali juara Liga Champions dan tim nasional meraih trofi Piala Dunia 2006. Namun rekam jejak sebagai pelatih tidak stabil:

  • Milan: setengah sukses
  • Napoli: juara Coppa Italia, tapi berkonflik dengan manajemen
  • Fiorentina: keluar sebelum debut
  • Valencia dan Marseille: hanya bertahan beberapa bulan
  • Hajduk Split: minim pencapaian

Pemilihannya bahkan disebut sebagai “bukti kejatuhan sepak bola Italia” oleh beberapa jurnalis.

“Kita dulu punya Maldini, Totti, Del Piero, Cannavaro. Pelatihnya pun kelas dunia. Kini kita bergantung pada Gattuso yang lebih terkenal lewat konferensi pers daripada taktik.” — Mina Rzouki, jurnalis sepak bola Italia


Italia di Bawah Gattuso: Tajam dalam Menyerang, Rapuh dalam Bertahan

Meski dikritik, Gattuso membawa satu hal penting: mentalitas dan keberanian menyerang. Lima laga pertamanya menghasilkan:

  • Menang 5-0 atas Estonia
  • Menang 5-4 atas Israel
  • Menang 3-1 atas Estonia
  • Menang 3-0 atas Israel
  • Menang 2-0 atas Moldova

Total 18 gol dalam lima pertandingan — sesuatu yang sangat jarang terlihat dari Italia beberapa tahun terakhir.

Masalahnya? Mereka juga kebobolan banyak. Balans taktik hilang. Italia bermain seperti Barcelona versi liar: lebih fokus mencetak gol daripada bertahan.

“Tim ini lapar gol, tapi tidak seimbang. Mereka tampil seperti kesebelasan yang panik.” — Rzouki


Keterpurukan Sistemik Sepak Bola Italia: Masalah Lebih Besar dari Sekadar Pelatih

Federasi sepak bola Italia sedang membahas masa depan tim nasional

Krisis yang dihadapi Italia tidak bisa hanya disalahkan pada pelatih atau pemain generasi terbaru. Masalahnya lebih dalam, lebih kompleks, dan berakar pada struktur sepak bola nasional yang stagnan. Italia pernah menjadi kiblat taktik dunia, tetapi kini tertinggal dari negara lain.

1. Minimnya Regenerasi Pemain

Serie A kini bukan lagi tempat berkembangnya talenta lokal. Klub-klub lebih memilih:

  • mengontrak pemain asing murah,
  • menggunakan pemain veteran,
  • meminjam pemain Eropa tingkat menengah,

Akibatnya, talenta lokal sulit mendapatkan menit bermain. Contoh paling jelas adalah posisi striker—Italia kesulitan melahirkan penyerang kelas dunia setelah era:

  • Luca Toni,
  • Filippo Inzaghi,
  • Antonio Di Natale.

Kini mereka hanya bisa mengandalkan retakan harapan dari pemain seperti Retegui atau Scamacca, yang masih belum stabil.

2. Serie A Tidak Lagi Kompetitif di Eropa

Meskipun beberapa klub Italia mencapai final kompetisi Eropa (Inter, Roma, Fiorentina), performa keseluruhan Liga Italia masih tertinggal dari Premier League dan La Liga dalam hal:

  • intensitas pertandingan,
  • kecepatan transisi,
  • fisikalitas,
  • kualitas akademi.

Generasi baru Italia tumbuh dalam ekosistem yang tidak mempersiapkan mereka untuk sepak bola modern.

3. Tekanan Media Italia yang Melampaui Batas

Tidak ada negara Eropa yang menekan tim nasionalnya sekeras Italia. Setelah kekalahan dari Norwegia, media besar menulis:

“Ini bahkan lebih buruk dari kehancuran 2017. Italia adalah negara besar yang hidup seperti negara kecil.”

Setiap langkah pelatih disorot. Setiap pemain dikritik. Tidak ada kebebasan untuk berkembang tanpa tekanan berlebihan.


Gattuso Membawa Energi Baru, Tetapi Apakah Itu Cukup?

Gennaro Gattuso adalah figur yang dipatuhi pemain. Ia berteriak, menghadapi wartawan dengan blak-blakan, dan mengembalikan kebanggaan pada jersey biru.

Namun masalah Italia bukan hanya soal semangat. Masalah mereka adalah struktur, taktik, pengalaman pemain, dan kualitas generasi.

1. Gaya Bermain Gattuso: Intens, Agresif, dan Kadang Berbahaya

Di bawah Gattuso, Italia tampil menyerang:

  • fullback naik tinggi,
  • dua striker,
  • gelandang box-to-box yang bermain tanpa jeda.

Hasilnya memang banyak gol, tetapi juga banyak celah. Kontra Israel, mereka menang 5-4, tetapi lini belakang tampak panik hampir 90 menit.

Italia tampak seperti tim yang ingin mencetak gol sebanyak mungkin agar publik melupakan kelemahan mereka.

2. “Menyerang Terus” Bukan DNA Italia

Italia secara historis kuat karena:

  • pertahanan kokoh (catenaccio),
  • penguasaan taktik,
  • disiplin organisasi,
  • serangan balik efisien.

Gattuso mencoba menciptakan sesuatu yang berbeda — yang mungkin terlalu berbeda.

Pertanyaannya: apakah Italia cukup baik untuk bermain terbuka seperti Spanyol atau Jerman? Banyak ahli menjawab: belum.


Tekanan Mental: Bayang-Bayang Kegagalan Masa Lalu

Kegagalan Italia dua edisi terakhir Piala Dunia bukan hanya catatan statistik — itu adalah beban sejarah yang terus menghantui pemain.

Beberapa pemain mengakui secara anonim kepada media bahwa mereka merasa kualifikasi Piala Dunia adalah beban psikologis paling berat dalam karier mereka.

Kekalahan dari Norwegia pada laga pembuka membuat situasi emosional Italia semakin buruk.

Sindrom “Takut Gagal”

Setelah 2017 dan 2022, Italia memasuki setiap pertandingan kualifikasi dengan pikiran:

“Kita tidak boleh gagal lagi. Jika kalah, seluruh negara akan menghancurkan kita.”

Tekanan seperti ini membuat pemain sulit tampil bebas, dan kegugupan mereka tampak jelas, terutama ketika menghadapi tim yang hanya bermain bertahan.


Lawan-Lawan Ringan, Performa Tidak Meyakinkan

Italia sebenarnya beruntung karena grup mereka tidak diisi negara besar. Estonia, Israel, Moldova — ini bukan lawan top Eropa. Namun justru di sinilah masalah terlihat paling jelas.

Saat melawan Estonia, Italia menang 5-0, tetapi kebobolan peluang emas beberapa kali.

Saat melawan Israel, mereka menang 5-4 dan 3-0, tetapi Israel beberapa kali menyerang balik dengan mudah dan menciptakan situasi berbahaya.

Jika menghadapi negara kuat seperti:

  • Prancis,
  • Portugal,
  • Belanda,
  • Jerman,

banyak analis percaya pertahanan Italia akan hancur.


Peluang Italia Lolos ke Piala Dunia 2026

Secara matematis, Italia bisa lolos otomatis jika menang selisih sembilan gol atas Norwegia. Tetapi dalam realitas sepak bola, peluang itu sangat kecil.

Norwegia adalah mesin gol dengan Haaland dalam performa terbaiknya. Mereka kemungkinan akan bertahan rapat dan mencari serangan balik.

Jadi Apa Jalan Italia?

Hampir pasti: play-off.

Tetapi play-off adalah mimpi buruk bagi Italia. Dalam format baru, mereka harus:

  1. menang semifinal satu leg,
  2. menang final satu leg,

Sekali saja lengah atau kehilangan konsentrasi, mimpi ke Amerika Utara akan berakhir.


Apakah Italia Masih Menakutkan di Mata Dunia?

Suporter Italia memegang bendera Azzurri di stadion dengan ekspresi cemas

Di masa lalu, nama Italia selalu membawa wibawa. Ketika Azzurri tampil di sebuah turnamen, negara lain merasa perlu mengkalkulasikan ulang strategi mereka. Italia identik dengan:

  • pertahanan kokoh,
  • disiplin ekstrem,
  • gelandang kreatif kelas dunia,
  • penyerang berbahaya yang mematikan peluang kecil.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, citra itu memudar. Banyak yang mulai bertanya:

"Masihkah Italia menjadi kekuatan sepak bola yang ditakuti?"

Sulit menjawabnya dengan yakin. Italia tetap punya sejarah besar, tetapi performa mereka di lapangan menunjukkan bahwa identitas lama mereka mulai memudar.

Masalah Mentalitas: Ketidakkonsistenan

Ketika Italia memenangkan Euro 2021, mereka terlihat seperti tim yang siap memasuki era baru. Namun beberapa bulan kemudian mereka gagal lolos ke Piala Dunia. Ini menunjukkan masalah bukan hanya kualitas, tetapi konsistensi mental.

Pemulihan mental dari dua kegagalan Piala Dunia berturut-turut membutuhkan lebih dari sekadar pelatih baru atau formasi baru. Dibutuhkan perubahan budaya dan membangun kembali kepercayaan diri generasi pemain yang terbebani sejarah.


Pertanyaan Besar: Apakah Gattuso Sosok yang Tepat?

Suka tidak suka, Gattuso membawa energi baru. Ia memimpin dengan hati, bukan hanya otak. Itu adalah gaya khasnya—keras, lantang, penuh emosi positif maupun negatif.

Tetapi tekanan untuk membawa Italia ke Piala Dunia sangat besar. Jika ia gagal, ia akan dikenang sebagai pelatih ketiga beruntun yang gagal membawa Italia ke turnamen yang paling penting.

Kelebihan Gattuso

  • Mengembalikan semangat bertarung.
  • Mendorong permainan agresif dan berani menyerang.
  • Mengangkat moral pemain yang sebelumnya terpuruk.

Kekurangan Gattuso

  • Kerap tak konsisten secara taktik.
  • Sulit menciptakan keseimbangan pertahanan.
  • Pengalaman internasional masih terbatas.

Italia butuh pelatih yang bukan hanya mampu membakar semangat, tetapi juga mengatur struktur permainan dengan matang. Tantangan besar bagi Gattuso adalah memberikan bukti bahwa ia tidak hanya mengandalkan motivasi, tetapi juga kompetensi taktik tingkat tinggi.


Bagaimana Publik Italia Melihat Situasi Ini?

Media Italia adalah salah satu yang paling kritis di dunia. Ketika Italia menang, mereka memujinya setinggi langit. Ketika kalah, mereka mengkritik tiada ampun. Sekarang, mayoritas publik terbelah menjadi tiga pandangan:

1. Pandangan Optimistis

Kelompok ini percaya bahwa:

  • Gattuso membawa energi positif,
  • Italia memainkan sepak bola menyerang yang menyenangkan,
  • kualitas generasi muda mulai muncul.

Menurut mereka, play-off bukan sesuatu yang harus ditakuti jika Italia tampil dengan sifat agresif dan mentalitas tanpa menyerah.

2. Pandangan Pesimistis

Kelompok ini justru khawatir Italia akan kembali mengulang kisah gelap 2018 dan 2022. Menurut mereka:

  • lini belakang terlalu mudah dibobol,
  • Italia tidak punya pemain bintang selevel era sebelumnya,
  • play-off adalah area yang sangat riskan.

Mereka melihat ada pola berulang: Italia tampil bagus melawan tim kecil, tetapi rapuh melawan lawan yang bermain cepat dan disiplin.

3. Pandangan Realistis

Kelompok ini memahami bahwa Italia sedang dalam masa transisi yang tidak mudah. Mereka menilai bahwa:

  • Italia harus menerima bahwa mereka bukan lagi raksasa Eropa,
  • pembangunan ulang perlu waktu panjang,
  • lolos ke Piala Dunia adalah target minimum yang harus dicapai.

Narasi ini paling banyak didukung analis profesional dan mantan pemain.


Jika Lolos, Apakah Italia Bisa Berbuat Banyak di Piala Dunia 2026?

Anggaplah skenario terbaik terjadi: Italia lolos ke Piala Dunia melalui play-off. Pertanyaannya:

"Apakah mereka bisa bersaing di Amerika Utara?"

Jawabannya masih belum pasti. Italia punya potensi di lini serang, tetapi lini pertahanan mereka belum menunjukkan ketangguhan yang identik dengan sejarah panjang Azzurri.

Kekuatan Italia (Jika Lolos)

  • Gaya bermain agresif dan penuh energi.
  • Banyak pemain muda yang mulai menonjol.
  • Solidaritas tim yang meningkat di bawah Gattuso.

Kelemahan Italia

  • Kurangnya pemain bintang kelas dunia.
  • Pertahanan mudah panik saat ditekan.
  • Kurikulum taktik sepak bola modern yang belum matang.

Italia bisa menjadi kuda hitam atau justru menjadi tim yang pulang cepat. Semuanya bergantung pada perkembangan enam bulan ke depan.


Bila Gagal Lolos: Apa yang Akan Terjadi?

Ini adalah skenario paling ditakuti, namun harus dibahas. Jika Italia gagal lolos ke Piala Dunia 2026, konsekuensinya akan sangat besar:

  • guncangan nasional di bidang olahraga,
  • perombakan total federasi sepak bola,
  • pemecatan Gattuso,
  • kehilangan generasi pemain yang tidak pernah tampil di Piala Dunia,
  • kerusakan reputasi global yang sulit dipulihkan.

Tiga kegagalan Piala Dunia berturut-turut akan menjadi noda terbesar dalam sejarah Azzurri.


Kesimpulan: Italia Berada di Persimpangan Jalan

Italia adalah salah satu negara dengan tradisi sepak bola paling megah di dunia. Namun sejarah tidak bisa terus menjadi perisai. Dunia sepak bola telah berubah, dan Italia harus ikut berubah.

Di bawah Gattuso, Italia menunjukkan energi baru, tetapi juga memperlihatkan kelemahan yang harus segera diperbaiki. Perjalanan menuju Piala Dunia 2026 merupakan ujian terbesar dalam sejarah modern Azzurri.

Apakah mereka akan bangkit dan kembali ke panggung dunia? Ataukah mereka akan kembali terjerembab ke dalam kegelapan play-off dan mengulang mimpi buruk sebelumnya?

Jawabannya akan tiba dalam beberapa bulan ke depan. Namun satu hal pasti:

Italia harus menemukan dirinya kembali jika ingin merebut kembali kejayaan yang telah lama hilang.


Situs taruhan bola 2026 , Holywin 69 asia , Sbobet88 asia

Lebih baru Lebih lama